Saya adalah seorang guru. Sudah lebih 16 tahun saya mengajar, sampai saat ini. Yang saya didik adalah anak-anak usia SMP sampai SLTA. Usia pancaroba, peralihan dari kanak-kanak ke remaja menuju dewasa. Dan saat ini, bersama rekan para pendidik, kami mengelola lembaga pendidikan dengan hampir 2000 peserta didik, dari TK sampai sekolah tinggi.

Tidaklah mudah pekerjaan menjadi seorang guru itu. Apalagi untuk generasi millenial saat ini. Perkembangan zaman dan teknologi informasi telah membuat mereka memiliki karakter tersendiri. Guru harus mempersiapkan diri lebih maksimal lagi dalam mendidik dan menghadapi mereka.

Sebagai seorang guru, saya harus menyiapkan bahan ajar. Mengevaluasi capaian pembelajaran, membuat soal ujian dan memeriksa hasilnya. Memberikan nilai dan mengulangi anak yang belum tuntas. 

Disamping itu, setiap kali hadir dan tampil di depan kelas, mesti ada nilai dan karakter yang harus saya tanamkan kepada mereka. Itu semua saya lakukan sampai saat ini, walaupun saya juga Wakil Ketua DPRD Sumbar.

Sebelum menjadi anggota dewan, saya malah pernah memikul amanah mengajar 24 jam pelajaran, bahkan lebih. Karena di malam hari dan setelah shubuh, masih ada lagi kelompok tahfizh yang saya bimbing. Rekan-rekan saya sebagai guru, sekarang malah ada yang mengampu sampai 30 jam pelajaran atau lebih.

Pastilah itu butuh energi, pikiran dan juga kesabaran dalam menghadapi peserta didik. Satu anak saja, bisa lebih dari satu tingkahnya. Dan mereka berasal dari "didikan" rumah tangga yang berbeda-beda. Apalagi satu kelas yang berisi 32 anak. Kalau ada 8 kelas yang diajar, luar biasa beban kerja yang dihadapi seorang guru.

Karena berbagai dinamika itu, maka segala aktifitas dan aturan yang ada di sekolah, haruslah dilihat secara komprehensif dan demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Yaitu terwujudnya generasi yang berkarakter, berakhlak mulia dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Orang-orang yang tidak pernah menjadi Guru atau dosen, mengajar dan mendidik sampai minimal 15 tahun, tidak bisa dan tidak usah sembarangan berbicara atau berkomentar tentang sekolah dan dunia pendidikan.

Melihat apa yang terjadi di SMKN 2 Padang, saya miris dengan banyaknya orang yang asal ngomong dan bicara. Padahal belum pernah mencoba menjadi guru. Sudah berlebihan porsi pembicaraan. Nuansa politik sudah terasa kentara.

Ini bukan masalah intoleransi apalagi tindak kejahatan. Tidak ada pemaksaan bagi siswi non muslim untuk berbusana muslimah. Sudah 15 tahun itu berlangsung. Tidak ada intimidasi, tidak ada pengusiran dari sekolah. Puluhan bahkan sudah ratusan siswi non muslim di sumbar dalam 15 tahun terakhir ini aman-aman saja. Kenapa satu peristiwa ini semua pada heboh dan ribut?

Saudara-saudara kami kaum Nashrani di Sumbar, dan pemeluk agama lainnya, adalah saudara bagi kami seluruh masyarakat Sumbar. 

"Haram hukumnya bagi orang Minang dan orang Sumbar menganiaya dan menzalimi tamu yang datang ke Sumbar. Baik secara adat maupun secara agama. Apalagi ini bukan tamu, melainkan sudah menjadi saudara sedaerah semenjak berpuluh tahun".

Padahal seharusnya masalah ini cukup diselesaikan oleh wakil kepala sekolah. Atau paling tinggi ke tingkat Kepsek. Masalah teknis yang kecil-kecil amat teramat banyak di setiap sekolah. Ini sampai sekaliber menteri berkomentar pula. Apa gak ada kerjaan yang lebih strategis yang harus diselesaikan oleh Menteri?

Puluhan ribu guru honor diseluruh pelosok negeri, sampai hari ini masih belum "terhormat" nasib mereka. Masih banyak yang bekerja sebulan tapi digaji sepekan. Padahal kalau semua guru honor mogok mengajar, lumpuh dunia pendidikan di Indonesia.

Belum lagi ribuan sekolah di wilayah pelosok dan pinggiran, yang minim fasilitas dan sarana prasarana. Bahkan jauh dari standar minimal. Apa langkah strategis yang sudah dikerjakan Menteri?

Citra sudah terlalu berlebihan porsinya dari pada kinerja. Sehingga pejabat selevel menteri harus mengurusi sebuah sekolah. Menteri yang lain menyapu jalanan atau mengangkat sampah. Nanti yang lain lagi membersihkan selokan dan gorong-gorong. Entah apa lagi setelah itu.

Beban berat guru dan tenaga kependidikan yang sudah sedemikian rupa, sekarang semakin bertambah lagi dengan intimidasi psikologis dan ancaman hak asasi. Gara-gara respon yang berlebihan begini, peserta didik dan sebagian orang tua akan semakin melunjak. Sedikit mereka merasa tidak nyaman, mereka akan berani menteror guru dengan rekaman video dan media lainnya. 

Saya yakin, sekarang di Sumbar banyak guru dan kepala sekolah mulai takut "macam-macam" kepada anak muridnya. Karena ancaman pelanggaran hak asasi menunggu mereka, kalau bertindak agak sedikit tegas apalagi keras kepada peserta didik.

Wahai para pejabat, politisi atau awak media yang menghebohkan masalah ini melebihi porsinya. Ambillah anak-anak kalian, tariklah mereka dari sekolahnya masing-masing. Agak satu pekan saja. Lalu cobalah mendidik mereka berbagai akhlak mulia dan karakter, di rumah anda sendiri. Setelah itu silakan anda tulis kesan anda sendiri, lalu berikan kepada guru-guru mereka di sekolah.

Anak-anak tidak boleh terintimidasi dalam proses pendidikan. Begitu juga, kepsek dan para guru juga tidak boleh terintimidasi saat mengajar dan mendidik. Tanpa guru, kita akan mengalami generasi yang hilang. Hilang arah, hilang pegangan dan hilang akhlak. Wallahu A'lam.(***)

 
Top